Rabu, 02 Februari 2011

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN 2

PENDAHULUAN
Sistem perapajakan yang lama ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional yang telah dicapai. Di samping itu, sistem perpajakan yang lama tersebut belum dapat menggerakan peran dari semua lapisan subjek pajak yang besar peranannya dalam menghasilkan penerimaan dalam negeri yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nasional. Oleh karena itu, undang-undang perpajakan baru; yang terdiri atas: UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan UU No.8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah, UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan UU No.13 tahun 1985 tentang Bea Materai.

Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuang yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari bahwa perlu dilakukan perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan dan ketentuan material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan kererbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan undang-undang ini dengan tetap menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat wajib pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:
  1. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara;
  2. meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
  3. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang teknologi informasi;
  4. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
  5. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
  6. meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten; dan
  7. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan dilaksankannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklin usaha.

DASAR HUKUM
Dasar hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah undang-undang No.6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No.28 tahun 2007.

PENGERTIAN-PENGERTIAN
Dalam pembahasan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan akan dijumpai pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang sudah baku. Pengertian-pengertian atau istilah-istilah tersebut, antara lain:
  1. pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  2. wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  3. badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  4. masa pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang KUP. Masa pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
  5. tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  6. bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
  7. pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  8. surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
  9. kredit pajak untuk pajak penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam surat tagihan pajak karena pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
  10. kredit pajak untuk pajak pertambahan nilai adalah pajak masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
  11. pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakn dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  12. bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
  13. pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
  14. penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  15. penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan peghitungannya.

Perpajakan


BAGIAN 1 DASAR-DASAR PERPAJAKAN
DEFINISI DAN UNSUR PAJAK
Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmar Soemitro, SH:
              Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :
1.      Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2.      Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasaran atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3.      Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4.      Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

FUNGSI PAJAK
Ada dua fungsi pajak, yaitu:
1.      Fungsi budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2.      Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melasanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang social dan ekonomi.
Contoh:
a.       Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras.
b.      Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.
c.       Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.
SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK
Agar pemungutan pajak tidak menimbulan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hokum, yakni mencapai keadilan, undan-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan denan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2.      Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3.      Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh menggangu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4.      Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5.       System pemuntutan pajak harus sederhana
System pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
Contoh:
·         Bea Materai disederhakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
·         Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
·         Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi).

TEORI-TEORI YANG MENDUKUNG PEMUNGUTAN PAJAK
Atas dasar apakah negara mempunya hak untuk memungut pajak? Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah :
1.      Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2.      Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan kepada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi yang harus dibayar.
3.      Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu:
·         Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh sesorang.
·         Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
Contoh:

Tuan A
Tuan B
Penghasilan/bulan
Status
Rp 2 juta
menikah
dengan 3 anak
Rp 2 juta
bujangan

Secara objektif PPh untuk tuan A sama besarnya dengan tuan B, karena mempunyai penghasilan yang sama besarnya.
Secara subjektif PPh tuan A lebih kecil daripada tuan B, karena kebutuhan materiil yang harus dipenuhi tuan A lebih besar.
4.      Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5.      Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

KEDUDUKAN HUKUM PAJAK
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai beriktut:
1.      Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
2.      Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:
·         Hukum Tata Negara
·         Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif)
·         Hukum Pajak
·         Hukum Pidana
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.
Dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex Specialist derogate Lex Generalis, yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan dari pada peraturan umum atau jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus, maka akan berlaku ketentuan yang diatur dalam ketentuan umum. Dalam hal ini peraturan khusus adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umum adalah hukum public atau hukum lain yang sudah ada sebelumnya.
Hukum pajak menganut paham imperatif, yakni pelaksanaannya tidak dapat ditunda. Misalnya dalam hal pengajuan keberatan tersebut deterima, maka Wajib Pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan yang telah ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya dapat ditunda setelah ada keputusan lain.

HUKUM PAJAK MATERIIL DAN HUKUM PAJAK FORMIL
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam pajak yakni:
1.      Hukum pajak materiil,memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besarnya pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.
Contoh: undang-undang Pajak Penghasilan.
2.      Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain:
a.       Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b.      Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c.       Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
Contoh : ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

PENGELOMPOKKAN PAJAK
1.      Menurut golongannya
a.       Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipukul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: pajak penghasilan.
b.      Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: pajak pertambahan nilai.
2.      Menurut sifatnya
a.       Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh; pajak penghasilan.
b.      Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh; pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
3.      Menurut lembaga pemungutnya
a.       Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan bea materai.
b.      Pajak daerah, yaitu pajak yang dupungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak daerah terdiri atas:
·         Pajak provinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak kendaraan bahan bakar bermotor.
·         Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel, pajak restoran dan pajak hiburan.
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK
1.      Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel:
a.          Stelsel Nyata (real stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b.         Stelsel Anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c.          Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

2.      Asas Pemungutan Pajak
a.       Asas Domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tiggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b.      Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c.       Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengna kebangsaan suatu negara.

3.      System Pemungutan Pajak
a.       Official Assessment System
Adalah suatu system pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya :
1). Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2). Wajib pajak bersifat pasif.
3). Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b.      Self Assessment System
Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya :
1). Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri,
2). Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pada pajak yang terutang,
3). Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c.       With Holding System
Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besaranya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
TIMBUL DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
1.      Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system.
2.      Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal :
1.      Pembayaran,
2.      Kompensasi,
3.      Daluwarsa,
4.      Pembebasan dan penghapusan.

HAMBATAN PEMUNGUTAN PAJAK
Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan :
1.      Perlawanan pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:
a.       Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b.      System perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
c.       System control tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2.      Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antar lain :
a.       Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
b.      Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang atau menggelapkan pajak.
TARIF PAJAK
Ada empat macam tarif pajak :
1.      Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dekenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh:
Untuk penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan pajak pertambahan nilai sebesar 10%.
2.      Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh :
Besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp1.000,00.
3.       Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh : pasal 17 undang-undang pajak penghasilan
a.       Wajib pajak orang pribadi dalam negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp25.000.000,00
5%
Di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp50.000.000,00
10%
Di atas Rp50.000.000,00 s.d Rp100.000.000,00
15%
Di atas Rp100.000.000,00 s.d Rp200.000.000,00
25%
Di atas Rp200.000.000,00
35%

b.      Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT)

Lapisan Penghasilah Kena Pajak
Tarif pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00
10%
Di atas Rp50.000.000,00 s.d Rp100.000.000,00
15%
Di atas Rp100.000.000,00
30%

Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi:
a.       Tarif progresif progresif          : kenaikan persentase semakin besar.
b.      Tarif progresif tetap                : kenaikan persentase tetap
c.       Tarif progresif degresif           : kenaikan persentase semakin kecil
Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 undang-undang pajak penghasilan tersebut di atas termasuk tarif progresif progresif.
4.      Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.